Anak Indonesia, Aku melewati tangga buntu, sempat menoleh ke arah tangga buntu itu. Saat menoleh, aku seperti melihat sebuah bayangan hitam berkelebatan di puncak tangga. Bulu kudukku mulai berdiri. Aku langsung mengarahkan pandanganku ke depan.
Aku membuka pintu kelas kimia. Gagang pintunya terasa sangat dingin di tangan, seakan hawa dingin malam sudah di serap gagang besi itu. Pintu kelas itu pun terbuka. Di dalam kelas sangat gelap, aku gugup. Kurogoh saku, dan kukeluarkan telepon genggam. Kebetulan telepon genggamku memiliki lampu di bagian belakangnya, jadi lampu itu kugunakan sebagai media penerangan. Tanpa buang waktu lagi aku mendatangi bangku tempatku duduk tadi siang dan merogoh bagian lacinya. Ternyata memang kertas itu ada di sana, aku senang sekali. Setelah itu aku pergi meninggalkan kelas dan menutup kembali pintu kelas tepat sebelum aku meninggalkannya.
Lorong sekolah sangat sepi, hingga membuat suara langkahku cukup keras untuk didengar dari lantai bawah sekalipun. Saat sedang berjalan, tiba - tiba aku mendengar suara langkah lain selain suara langkah kakiku. Suara langkah itu tepat di belakangku, seperti mengikuti aku dari belakang. Tidak ada siapa - siapa di belakang, hanya hembusan angin dingin di wajahku. Tidak ada orang sama sekali disana, lagipula tidak mungkin ada orang di lantai 2 sekolah pada malam hari ini, selain aku sendiri. Aku kembali meneruskan langkah, namun nsuara langkah kaki itu terdengar lagi, tepat di belakangku.
Aku kembali berhenti dan menoleh ke belakang. Lagi - lagi tidak ada seorangpun di belakangku. Saat itu aku sudah mulai merasa ada yang aneh. Aku kembali berjalan, namun kali ini lebih cepat, dan tidak mau menoleh lagi jika ada suara langkah lagi.
Ketika melewati tangga buntu, mau tidak mau langkah kakiku berhenti lagi. Kali ini bukan karena suara langkah kaki, melainkan karena seorang anak perempuan sedang duduk di anak tangga. Anak Tangga Buntu. Aku berhenti untuk melihat ke anak perempuan itu. Dia juga berbalik memandangiku. Anak perempuan itu sepertinya seumuranku, dia juga masih mengenakan seragam sekolah. Tapi seragam sekolah yang dia kenakan sudah sangat lusuh, seperti sudah di pakai berhari - hari. Rambut anak itu lurus hingga bahu, dan disisir ke sasmping. Tatapannya kosong dan wajahnya pucat pasi.
Aku diam beberapa saat, tidak tau harus berbuat apa. Anak perempuan itu terus memerhatikan dengan tatapan yang cukup menyeramkan. Aku tidak bisa bergerak, aku terus menatap anak perempuan itu. Dia membalas tatapanku dengan sangat dingin. Jantungku sudah mulai berdegup lebih cepat. Beberapa menit kami berdua saling memandadng, hingga akhirnya anak perempuan itu bangun dan membalikkan badan.
Seketika tenggorokanku seperti tercekik saat melihat bagian belakang kepala anak perempuan itu. Ada sebuah luka besar menganga di bagian belakang kepalanya. Luka itu tersembunyi di balik rambut hitamnya, luka terkoyak yang masih mengeluarkan darah hingga membuat rambutnya lepek oleh darah. Seragam bagian belakangnya pun penuh bercak - bercak darah yang sudah mengering, bahkan bercak berdarah itu juga mengotori rok yang dia pakai. Anak perempuan itu menaiki anak tangga, Hingga akhirnya menghilang di anak tangga terakhir.
Keringat dingin mulai menetes dari dahi dan leher. Udara yang dingin tiba - tiba berubah jadi panas. Aku merasa tengkukku yang tegang seakan seluruh otot di tubuh tertarik, hingga membuat tubuhku amat kaku. Aku kembali memalingkan wajah ke depan. aku harus pergi dari sini sebelum anak perempuan itu kembali. Dengan sekuat tenaga aku melangkahkan kaki menuruni anak tangga, berjalan dengan wajah kosong seperti seseorang yang tengah kesurupan.
Akhirnya aku dapat meninggalkan gedung sekolah, dan menuju gerbang sekolah. Namun saat akan melewati pos satpam, pak satpam menghentikan langkahku. Dia mengajakku untuk duduk sejenak di posnya dan terus memerhatikan raut wajahku yang kosong. Akupun masih belum sepenuhnya sadar, seperti orang yang kebingungan. Pandanganku buram, tubuh terasa lemas.
Akhirnya pak satpam menuangkan air ke gelas, lalu dia membaca sesuatu seperti ayat kursi. Aku hanya memerhatikannya dengan tatapan kosong, tidak mengatakan apa - apa.
"minum air ini dik."
Pak satpam memberikan sebuah gelas berisikan air. Aku meminumnya sampai habis. tenggorokanku terasa sangat kering.
"Kamu duduk disini sebentar ya, jangan pulang dulu."
Aku menuruti perintah pak satpam itu. setelah aku meminum air putih yang dia berikan, berangsur - angsur kesadaranku kembali pulih. Aku seperti baru terbangun dari tidur, tubuhku kembali bertenaga.
"Kamu ketemu dia ya?" tanya pak satpam saat melihat keadaanku yang sudah mulai membaik.
"siapa pak?" aku masih pura - pura tidak tahu
"Kamu tadi ketemu anak perempuan di tangga buntu itu kan?" Pak satpam sepertinya sudah tahu.
"kok bapak tahu?" Tanyaku heran.
"Tadi pas kamu keluar dia ikut di belakang kamu, dia narik baju kamu. Makanya kamu kayak orang gak sadar." Seketika jantungku kembali berdetak cepat.
"dia masih ngikutin saya pak?" tanyaku.
"Tenang, sudah gak kok. Saya sebenarnya khawatir sama kamu, takut ketemu dia makanya saya menawarkan diri nganterin."
Aku kembali tenangg saat mendengar anak perempuan itu tidak lagi mengikutiku.
"Dia itu siapa pak ? Kok bisa gentayangan disana ?" Tanyaku.
"Namanya Irma, dia dulu murid di sekolah ini. Tapi dia meninggal saat pembangunan lantai 3. Dia main - main di tangga buntu sampai akhirnya dia kepeleset terus jatuh. Kepalanya menimpa sebuah kayu balok penyangga pondasi gapura di sekolah dasar. Seketika itu juga dia meninggal."
Mendengar cerita itu aku merinding.
"Semenjak saat itu dia selalu gentayangan di tangga itu. Seluruh pekerja bangunan pernah melihatnya, malah sering ada kecelakaan karena pekerja bangunan kehilangan konsentrasi. Mereka mengaku melihat anak perempuan yang secara tiba - tiba berada di dekat mereka, sampai - sampai membuyarkan konsentrasi mereka," ujar pak satpam melanjutkan.
"Karena begitu banyak kecelakaan, akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk menghentikan pembangunan lantai 3. Untuk keselamatan bersama, lantai 3 ditinggalkan begitu saja."
Aku kembali tetringat wajah irma, dan bagaimana luka di kepalanya yang mengerikan itu. Seketika tanganku gemetaran. Akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang, mungkin mang udin pun sudah menunggu lama. Sebelum pulang aku bertanya kepada pak satpam apakah Irma akan mengikutiku sampai rumah. Pak satpam mengatakan bahwa irma tidak akan mengikuti sampai rumah, jadi tidak perlu takut.
Cepat - cepat aku keluar gerbang sekolah. Saat sampai di luar, aku melihat mang udin tengah gelisah di sebuah warung kopi di depan sekolah.
"Kemana aja non? Ibu udah nelponin dari tadi," ujar mang udin resah.
"Ada gangguan sedikit. Mending Mang udin cepet nyalain motornya terus kita pergi dari sini," ujarku dengan nada agak tinggi.
Mang udin menaiki motornya dengan cepat, aku menyusul setelahnya. Dia menyalakan mesin motornya lalu menarik gas. Aku pun meninggalkan sekolah, namun sempat aku menoleh ke sekolah sebelum benar - benar meninggalkannya. Dan nampak sesosok perempuan yang tidak lain adalah Irma melambaikan tangannya dari lantai 3 gedung sekolah, aku pun langsung memalingkan wajah dan berkata dalam hati "Gue gak akan balik ke sekolah malem - malem buat alasan apapun. Kayaknya mendingan dihukum daripada ketemu si Irma lagi."
Sekian cerita horror pertama yang saya tulis , semoga menghibur dan bisa ngebuat temen - temen berhorror ria. Terima Kasih telah membaca cerita di atas. Tunggu cerita - cerita selanjutnya.